I want people to be happy. The goal never change, just the method.

Hometown Glory Part 5: Hometown's Rose

Ada satu hal yang selalu mengingatkan gue kalo nginget yang namanya penyakit yang berbau stroke. Setiap gue denger nama itu yang pertama kali melintas di benak gue adalah temen gue nggak deket-deket amat tapi orangnya ngena-di-hati, namanya Rena. Mungkin kedengerannya ngga ada hubungannya dan barangkali nggak menarik, Tapi cobalah untuk mendengarkan cerita gue.

*memanggil ingatan gue*

sebelum baca klik dulu di sini. JANGAN DIMAINKAN TERLEBIH DAHULU.


Waktu itu gue masih kelas 6, gue masih polos waktu itu. Saat itu gue ikut klub Angklung, karena sekedar tertarik aja. Gak taunya gue malah sering ketiduran pas belajar angklung. Tapi bukan itu masalahnya. Rena juga ikut klub Angklung.

Waktu pertama kali gue kenalan saat itu gue sedang bersama Rena di klub Angklung.Dia kelas 6 juga, seangkatan dengan gue. Orangnya baek, tampang imut (tapi ngga se-chubby Jihan, sayang sekali!), dan dia layaknya orang yang beretika, jadi buat gue berteman denganya bukanlah sebuah masalah. Saat itu gue punya prinsip bahwa semua teman-teman gue adalah sahabat (maklum, dulu masih naif) dan Rena salah satu yang jadi 'sahabat' ini, walaupun gue akuin gue ngga sedeket sahabat dengan dia, sampai sekarang.
Tapi intinya bukanlah itu.

Satu pagi, sekitar pertengahan april, ketika semuanya kelihatan cerah dan menyenangkan, insiden aneh ini terjadi. Saat itu Rena sedang berjalan ke kantin, waktu itu di depannya ada guru kelas 6 yang biasa kami panggil Pak Asep. Mendadak Rena pingsan dan Pak Asep langsung membawanya ke klinik. Waktu gue denger ini, gue sedang di dalam gedung sekolah, nun jauh di lantai tiga. Dan langsung aja gue kaget, dan gue ngga sedang bersama Jihan, yang sekarang dipanggil NJ. Gue tahu kalo NJ denger—atau yang lebih parah, ngeliat—kejadian tersebut, NJ pasti langsung shock karena Rena adalah salah satu sobat super deketnya (kalau deket ngga cukup untuk mendeskripsikan). Dia bahkan inget apa yang Rena ucapkan, nyanyikan, candakan, dan yang lebih edan—apa yang sedang dilakukan Rena sebelumnya. Ingatan seperti itu pasti langsung masuk long term memory, atau memori jangka panjang.

Besoknya, gue denger Rena masuk rumah sakit—dan langsung dioperasi—akibat pendarahan (ada semacam pembuluh darah yang pecah) di otak. Pikiran gue langsung berpikir, edan! Pendarahan di otak? Gue belum pernah denger hal kayak gini. Samasekali nggak.

Sekitar sebulan atau setengah bulan kemudian, gue denger kabar dari Rena. Dia sudah sembuh dan boleh pulang walaupun tubuh bagian kiri ngga bisa digerakkan. Beberapa temen sekolah gue dateng ke rumahnya buat jenguk Rena. NJ sendiri sempat jenguk waktu dia di rumah sakit. Pulang sekolah gue langsung melakukan research yang berhubungan dengan pendarahan otak yang berakibat kelumpuhan. Dan yang gue temukan adalah stroke. Ini ngagetin gue karena belum pernah ada anak 11 atau 12 tahun yang kena stroke. Aku harap bukan, pikir gue waktu itu. Semoga ngga lebih buruk dari itu.

Sewaktu Rena sudah pulang dari rumah sakit, Pak Asep datengin gue. "Elsa," kata pak Asep, "Boleh Pak Asep pinjam flashdisk ngga? Sekalian sama foto hasil jepretan kamu selama di sekolah." "Boleh kok." kata gue sambil senyum. Gue masih agak polos waktu itu, jadi gue gak ngerti buat apa flashdisk gue itu.

Beberapa hari kemudian, Pak Asep katakan satu hal kecil yang akan selalu gue inget di hati gue: "...Rena ingin kembali bergerak seperti sediakala, dia terus mengangkat tangan kirinya, dia saat ini sedang putus asa. Dia ingin kembali ke sekolah, bertemu dengan teman-temannya..."

"Dia hanya ingin hidupnya kembali seperti sebelumnya."

Tapi ternyata—karena ini dunia yang penuh realita—Rena harus kembali ke rumah sakit karena alasan yang sama, pembuluh darah yang pecah. Akibatnya dia harus dioperasi lagi dan kali ini dia harus kehilangan rambut sebahunya yang lurus. Sewaktu numpang main di facebook gue liat Rena memotret dirinya sendiri di atas ranjang rumah sakit dengan seluruh rambutnya yang sudah menghilang entah kemana.


Dan langsung aja berhamburan komentar dari temen seangkatan gue dan junior-juniornya berisi shock karena *ehem* rambutnya yang menghilang, yang pastinya shock tersebut melibatkan NJ, setelahnya berdatangan support supaya Rena cepat sembuh.

Setelah kejadian tersebut, pak Asep mengumumkan satu hal yang membuat gue senang, walaupun bukan berupa kesembuhan Rena. "Setelah beberapa pertimbangan oleh pihak sekolah, guru-guru memutuskan, bahwa Rena dapat melanjutkan ke MTs (SMP) Asih Putra namun masih dengan mengikuti UASBN!" Seketika, temen-temen gue terkejut dan senang, bahwa Rena dapat melanjutkan ke MTs walaupun harus tetap ikut UASBN. Dan gue udah kayak "Alhamdulillah, Rena, you're awesome!"
_________________________________________________________________________

7 Juni 2010, jam 7 pagi. Pagi itu adalah pagi yang sejuk untuk memulai hari. Gue sedang tidur ketika Rena mendatangi gue yang sedang tidur. By the way, mungkin gue ngoroknya keras banget. Gue hanya memperhatikan dia memakai kerudung berwarna hijau, dia memandangku penuh senyuman, itu adalah senyuman paling hangat yang pernah gue liat dari wajahnya, dan tiba-tiba ia menghilang. Gue terbangun dan menaruh kedua tangan gue dibawah kepala dan merenungkan apa yang dimaksud dari mimpi tersebut. Mendadak gue mendengar getaran handphone gue, gue membaca pengirimnya, ternyata JQ. Gue membaca sms tersebut, kaget dan segera mem-forward sms itu dan mandi dan berganti baju bepergian.

Karena Rena meninggal.

Gue langsung mendatangi nyokap gue dan menunjukkan sms yang dikirim JQ. Nyokap gue sendiri terkejut, dan akhirnya nganterin gue ke rumah Rena yang ngelewatin kantor polisi di Cimahi. Alamatnya udah dikasih di sms tersebut jadi gue cukup bertanya pada orang sekitar.

Akhirnya gue nemu rumah Rena, yang memiliki halaman kecil di depan rumahnya. Kecil, tapi padat oleh tanaman dan rumput hijau. Beberapa temen gue udah dateng, seperti JQ. Beberapa menit kemudian NJ datang, tersenyum. Tapi gue tau deep in her heart dia sedih banget. Rena sedang dibawa ke rumah sakit, entah untuk apa. Mungkin untuk dibawa ke kamar jenazah untuk membereskan beberapa masalah.

Waktu jenazah Rena yang telah dibalut kain kafan digotong melewati gue, NJ dan temen-temen gue, mereka langsung berteriak kecil karena perasaan takut. Gue hanya memperhatikan jenazah Rena, dengan perasaan sedih sambil memikirkan apa yang terjadi ketika gue masih di alam bawah sadar. Gue masih ngga ngerti apa maksudnya. Tapi, mungkinkah...?

Oke, bisa tolong mulai linknya? :-)

Sesaat setelah jenazah Rena dimandikan, dia dibawa ke ruang tengah rumahnya. Wajahnya masih tertutup dengan kain kafan. NJ ada di sebelah gue dan bersandar di sebelah gue. Gue cuma bisa meluk NJ dan ngga bisa berbuat lebih. Gue hanya speechless, dan lupa untuk ngasih tau NJ soal mimpi gue tadi pagi. Kalo aja gue inget waktu itu, walaupun gue masih mikir apa yang bakal terjadi kalo gue kasih tau...

Beberapa menit kemudian, NJ dan yang lainnya membuka kain kafan yang menutupi wajah Rena. Gue memperhatikan hidungnya sudah disumbat oleh kapas. Gue yakin temen-temen gue ingin kapas itu lepas dari hidungnya karena dia kembali bernapas. Gue langsung tau hal itu nggak akan terjadi.

NJ mulai menangis. Mungkin dia tahu dia kehilangan harapan bahwa Rena akan kembali hidup, atau mungkin mengucapkan selamat tinggal tapi masih tidak terima. Itulah yang gue kira ada di pikiran NJ. Gue tetep ngebiarin dia bersandar di pundak gue karena untuk sementara inilah yang dia butuhin, setidaknya menurut gue.  Dan gue tau ngga ada gunanya menghentikan hal itu.

Kemudian gue sadarin ada senyum yang amat samar di wajah Rena. Mungkin udah begitu sebelumnya tapi gue ga nyadar. Gue teringat mimpi gue tadi pagi, dan mulai mikirin satu hal, yang mungkin ada di benak kalian yang baca. Yeah, mungkin itu artinya, pikir gue.

Air mata masih terus turun dari wajah temen-temen gue yang cewe tanpa kecuali. Gue ngerti kenapa mereka nangis, dan gue mulai ikut mengeluarkan sedikit air mata. Bukan ikut-ikutan, gue hanya ngerti perasaan mereka dan ngikutin flow yang ada di ruangan aja. Bahkan nyokap gue (yep, dia ada di sana) juga ikut nangis.

Waktu sangat cepat berlalu, ketika akhirnya jenazah Rena akan dibawa ke masjid dekat rumahnya untuk disholatkan. Gue ngga ikut sholat karena lagi.. ah, taulah.

Setelah selesai disholatkan, jenazah Rena dibawa ke kawasan kuburan beberapa puluh meter dari rumahnya. Beberapa saat setelah nyampe, sepetak persegi panjang tanah kosong tengah disiapkan untuk tempat tinggal terakhir Rena. Sewaktu udah selesai, hujan rintik mulai turun dan temen-temen gue mengelilingi tempat yang disediakan untuk jenazah Rena (lupa disebut apa, udah ngegoogle tapi gagal). Setelah membaca berbagai do'a dan surah wajib ketika dikubur, akhirnya Rena sudah turun ke dasar tempat tinggal terakhirnya. NJ udah nggak nangis lagi, tapi (maaf dramatis) langit terus menangis seiring dikuburnya Rena. Bahkan ketika kami mulai meninggalkan pemakaman hujan bertambah deras. Di langkah keenam gue berhenti dan berbalik tanpa membuat langkah dan gue mengucapkan,

Goodbye hometown's rose. Now you may belong to heaven.

2 comments: